Mendengar kata Shadaqah atau sedekah tentunya bagi
saya yang seorang muslim sudah tidak asing lagi. Bagi kami orang muslim shadaqah
adalah seseorang yang memberikan sesuatu dengan ikhlas dan bertujuan meminta
ridha Allah. Dalam Islam pun tidak ada paksaan dalam jumlah nominal shadaqah,
hanya keikhlasan yang diminta. Makanya terkadang fitrah manusia yang mempunyai
sifat pelit selalu saja merasa berat ketika memang harus mengeluarkan shadaqah. Dan saya pun tak luput dari hal itu. Memang
selalu ada halangan ketika kita akan berbuat kebaikan. Banyak sekali
godaan-godaan yang malah mengarahkan kita untuk merasa lebih baik tidak ber-shadaqah.
Dengan dalih ya sayang lah, diri sendiri juga masih merasa kurang lah dan
berbagai alasan lainnya. Padahal jelas-jelas Allah menjanjikan yang lebih bagi
setiap umatnya yang gemar ber-shadaqah.
Terkadang hal terberat atau menjadi ganjalan ketika
kita akan ber-shadaqah adalah bingung harus memberi berapa atau nominal berapa
yang pantas untuk shadaqah. Kita disibukkan dengan pikiran seandainya kita
memberi dengan nominal kecil, malu lah diri kita ini. Dan seandainya memberi
dengan nominal besar pun, takutlah kita akan dikatakan riya. Dan lebih celaka lagi
kita malah batal untuk ber- shadaqah gara-gara berpikiran seperti itu. Memang godaan
dari syaitan itu tidak pernah bisa berhenti. Kita yang sudah niat untuk shadaqah
pun diganggu dengan pikiran-pikiran yang katakanlah konyol. Toh, jelas-jelas
Islam mengajarkan untuk seikhlasnya dalam
ber-shadaqah. Tak usahlah kita merasa ragu dan dilema. Shadaqah 100 perak pun Insya Allah mendapat pahala. Untuk
itu biarkan saya menceritakan sebuah cerita. Cerita penuh hikmah (bagi saya)
dari sahabat saya tentang ‘The Power Of Shadaqah’.
Pekerjaan saya sehari-hari adalah seorang guru SD. Saya
mengajar di SD dekat rumah yang bisa ditempuh dengan berkendara sepeda motor
selama kurang lebih 5 menit. Daerah tempat tinggal saya termasuk pedesaan. Mata
pencaharian masyarakatnya kebanyakan petani dan buruh tani. Jadi, bisa
dikatakan di daerah saya ini kebanyakan orang-orang berada di kelas ekonomi
bawah. Kebetulan saat ini saya ditunjuk oleh Kepala Sekolah sebagai petugas Bantuan
Siswa Miskin (BSM). Setiap semester saya selalu mengurus data-data siswa yang
berhak mendapat BSM dari pemerintah. Hingga suatu hari saya bertemu dengan
seorang sahabat. Sahabat saya ini pun kebetulan ditunjuk sebagai petugas BSM. Selama
bertemu kami saling mengobrol dan berbagi informasi tentang proses pencairan
BSM. Waktu itu dalam pencairan BSM ditentukan oleh masing-masing sekolah. Di sekolah
saya sendiri hanya anak yang namanya ada dalam daftar yang berhak mendapat uang
BSM tersebut. Nominal BSM itu sekitar Rp. 225.000 – Rp. 450.000. Dan orangtua
anak tersebut dipersilakan untuk mengambil sendiri uang BSM di Bank.
Berbeda dengan proses pencairan di SD sahabat saya
ini. Setiap nama anak yang mendapat BSM pada saat pencairan hanya petugas BSM yang
mengambil uang di Bank. Uang tersebut ditampung terlebih dahulu oleh Guru yang
diberi tanggung jawab sebagai petugas BSM. Uang tersebut kemudian dibagi sama
rata untuk semua warga sekolah dan bagi anak yang terdapat namanya dalam daftar
penerima BSM mendapat jatah yang lebih besar. Saat itu rinciannya untuk anak
yang ada namanya dalam daftar mendapat Rp. 100.000/anak dan bagi anak yang
tidak tercantum namanya dalam daftar akan mendapat Rp. 35.000/anak.
Pembagian BSM yang sama adil menurut saya. Di mana
karena tidak semua anak mendapat BSM setidaknya yang tidak menerima pun mendapat
jatah walau lebih sedikit. Dan sahabat saya ini bercerita bahwa ada salah satu
orangtua murid yang bilang padanya bahwa ‘Alhamdulillah bisa mendapat uang BSM,
dari dulu belum pernah mendapat BSM. Enak seperti ini Bu, semuanya bisa
kebagian walau sedikit. Bisa untuk membeli keperluan anak membeli sepatu.’
Wow, saat itu saya hanya bisa diam membisu. Dan treyuh mendengar cerita sahabat saya
ini. Bagaimana tidak? Jujur, bagi saya uang Rp. 35.000,- itu sama sekali tidak
besar. Kecil. Untuk uang bulanan internet saya pun tidak cukup. Tapi, bagi sebagian
orang nilai yang kecil itu begitu besar. Dan beliau dengan uang sekecil itu sangat bersyukur sekali. Dan
bagaimana saya seperti tidak tertampar ketika diceritakan bahwa beliau sangat
bahagia mendapat uang tersebut. Beliau penuh syukur dan bilang bahwa uang
tersebut akan dibelanjakan untuk membeli sepatu pada saat kenaikan kelas. Ya ampun,
sepatu apa coba yang harganya Rp. 35.000,-. Saya benar-benar merasa diri ini
begitu sering tidak bersyukurnya dalam hidup ini. Saya memang bukan terlahir
dari keluarga kaya raya. Tapi dari keluarga berkecukupan yang selalu terpenuhi
segala kebutuhan sehari-harinya. Saya asli, merasa lemas mendengar cerita
sahabat saya ini. Bahasa Jawa-nya les-lesan.
Diri ini benar-benar merasa sangat hina.
Makanya, saya saat ini mulai belajar untuk ber-shadaqah. Berapapun
nilainya. Sekecil apa pun saat itu uang yang saya punya. Karena dengan ber-shadaqah
sendiri adalah tanda syukur kita pada Allah. Rasanya ketika saya memulai shadaqah, ada saja hal baik yang terjadi. Memang janji Allah itu tidak bohong. Dan sebagai pembersih dosa juga seandainya kita rajin ber-shadaqah.
Yuk, mari kita semua belajar untuk
berbuat kebaikan dengan cara ber-shadaqah. Sekecil apa pun yang akan kita shadaqah-kan
tidak masalah. Karena memang bagi sebagaian orang yang membutuhkan shadaqah
kita yang kecil itu sangat besar dan berarti. :’)
“Tulisan ini diikutsertakan pada Monilando's Giveaway : Spread The GoodStory"
Semoga bs mensyukuri rezeki sekecil apapun ya mba.. Makasih inspirasinya :)
BalasHapussedekah memang banyak manfaatnya yah mbak :)
BalasHapuswah iya mbak terima kasih sudah mengingatkan. salam kenal :)
BalasHapus